
Sop Konro Sajian Lezat yang Menggugah Selera
Sop Konro, Hidangan Khas Makassar yang Kaya Rasa dan Rempah
Sop Konro merupakan salah satu kuliner tradisional Sulawesi Selatan yang terkenal dengan rasa gurih dan kuah rempahnya yang pekat. Hidangan jepang slot ini berbahan dasar iga sapi yang direbus hingga empuk dalam kuah yang kaya akan bumbu khas Indonesia.
Cita rasa Sop Konro tidak hanya sekadar gurih, tetapi juga kompleks dan dalam, berkat perpaduan rempah-rempah seperti ketumbar, kemiri, kunyit, jahe, hingga lengkuas. Aroma sedapnya langsung menggoda sejak pertama kali disajikan, terutama ketika kuah hangatnya mengepul.
Bahan dan Bumbu yang Digunakan:
Untuk membuat Sop Konro, bahan utama yang digunakan adalah iga sapi yang telah dipotong-potong. Bumbu halusnya terdiri dari bawang merah, bawang putih, kemiri, ketumbar, jahe, kunyit, dan cabai merah. Tambahan daun salam, serai, lengkuas, dan garam memperkaya rasa. Tak lupa, kelapa parut yang dihaluskan juga menjadi ciri khas penting dalam kuahnya.
Langkah-Langkah Memasak:
Proses memasak diawali dengan merebus iga sapi hingga teksturnya menjadi lunak dan empuk. Sementara itu, bumbu-bumbu ditumis hingga harum, lalu dimasukkan ke dalam panci rebusan iga. Setelah itu, tambahkan daun salam, serai, garam, dan gula sesuai selera.
Untuk menghasilkan tekstur kuah yang lebih kental dan kaya rasa, kelapa parut yang telah dihaluskan bersama kaldu sapi ditambahkan ke dalam masakan. Semua bahan dimasak hingga kuahnya benar-benar menyatu dan iga terasa lembut sempurna.
Penyajian yang Menggoda Selera:
Sop Konro biasanya dinikmati bersama nasi putih hangat. Tambahan pelengkap seperti sambal pedas, acar segar, dan taburan bawang goreng membuat sajian ini semakin menggugah selera. Kuahnya yang kaya rempah dan potongan iga yang empuk menjadikan Sop Konro tidak hanya mengenyangkan, tetapi juga memanjakan lidah.
Tak heran jika Sop Konro menjadi salah satu ikon kuliner Makassar yang dicari banyak pecinta makanan nusantara.
Baca Juga : Mohinga: Cita Rasa Otentik Kuliner Myanmar

Mohinga: Cita Rasa Otentik Kuliner Myanmar
Mohinga adalah salah satu kuliner paling ikonik dari Myanmar yang telah lama dianggap sebagai hidangan nasional negara tersebut. Hidangan ini berupa sup mi berkuah yang terbuat dari kaldu ikan, tepung beras, dan aneka rempah yang menghasilkan rasa gurih, pedas, dan harum. Disajikan dengan bihun atau mi beras, mohinga biasanya dilengkapi dengan irisan pisang batu, telur rebus, irisan serai, dan daun ketumbar, menciptakan perpaduan rasa dan tekstur yang begitu kaya dan memikat. Mohinga bukan sekadar makanan, tetapi juga bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Myanmar yang menyantapnya sejak pagi hari sebagai sarapan utama.
Mohinga memiliki sejarah panjang yang berakar pada budaya sungai di Myanmar, di mana masyarakat yang tinggal di sekitar sungai memanfaatkan hasil tangkapan seperti ikan air tawar untuk dijadikan bahan dasar masakan. Karena Myanmar merupakan negara agraris dan perikanan yang subur, ikan menjadi sumber protein utama, dan mohinga pun berkembang sebagai cara cerdas memanfaatkan hasil alam. Resep asli mohinga kemungkinan besar berasal dari wilayah selatan seperti delta Ayeyarwady, lalu menyebar ke seluruh penjuru negeri dengan variasi lokal yang unik.
Setiap wilayah di Myanmar memiliki gaya mohinga yang sedikit berbeda. Di Mandalay, misalnya, mohinga cenderung lebih kental karena menggunakan lebih banyak tepung beras, sementara di Yangon rasanya lebih ringan dengan penekanan pada aroma serai dan jahe. Ada pula versi pedas dari daerah utara, serta mohinga khas pesisir yang menggunakan ikan laut alih-alih ikan air tawar. Meskipun bahan dasarnya sama, keberagaman ini mencerminkan luasnya budaya Myanmar dan kreativitas kuliner masyarakatnya.
Salah satu daya tarik utama mohinga adalah kemudahan dalam pembuatannya. Meskipun di restoran bisa disajikan dengan tampilan menarik dan lengkap, di rumah-rumah slot jepang mohinga bisa dibuat dengan bahan yang sederhana namun tetap lezat. Biasanya dimasak dalam jumlah besar, kemudian disantap bersama keluarga atau dijual di pinggir jalan sebagai sarapan cepat dan mengenyangkan. Penjual mohinga keliling atau warung mohinga kaki lima sudah menjadi pemandangan lazim di kota-kota besar Myanmar, terutama di pagi hari.
Bagi masyarakat Myanmar, mohinga bukan hanya makanan pokok, tetapi juga simbol kebersamaan. Hidangan ini sering hadir dalam acara keluarga, perayaan hari besar, hingga festival budaya. Rasanya yang akrab dan hangat menjadikan mohinga semacam makanan nostalgia, yang selalu mengingatkan pada rumah, kampung halaman, dan kebersamaan. Bahkan bagi diaspora Myanmar di luar negeri, mohinga tetap menjadi makanan wajib yang diburu atau dimasak sendiri ketika rindu akan tanah air.
Seiring waktu, mohinga juga mulai dikenal di kancah internasional. Dalam beberapa festival kuliner Asia Tenggara, mohinga tampil sebagai wakil kuliner Myanmar dan mendapat sambutan hangat karena cita rasanya yang otentik dan mudah diterima berbagai lidah. Banyak restoran Myanmar di luar negeri yang menyajikan mohinga sebagai menu andalan, memperkenalkan budaya Myanmar melalui rasa dan aroma. Bagi para pecinta kuliner, mohinga menawarkan pengalaman baru menikmati mi berkuah yang berbeda dari ramen Jepang atau pho Vietnam.
Walau tergolong sebagai street food, mohinga tidak kehilangan nilainya sebagai warisan kuliner yang kaya. Bahan-bahan lokal seperti daun pisang, serai, kunyit, bawang merah, dan ikan segar menegaskan betapa eratnya hubungan makanan ini dengan alam Myanmar. Proses memasaknya pun menggambarkan kesabaran dan ketelitian, mulai dari membuat kaldu ikan hingga mencampur bumbu dengan takaran yang pas. Karena itu, mohinga dianggap lebih dari sekadar makanan cepat saji—ia adalah cermin dari cara hidup dan nilai-nilai masyarakat Myanmar.
Dalam upaya pelestarian kuliner tradisional, mohinga menjadi ikon penting. Pemerintah Myanmar dan komunitas kuliner lokal aktif mempromosikan mohinga melalui festival, lomba memasak, hingga pelatihan chef muda. Dengan menjaga kualitas rasa dan teknik memasak yang otentik, mohinga diharapkan bisa terus dinikmati oleh generasi mendatang tanpa kehilangan identitas aslinya.
Di tengah gempuran makanan modern dan budaya asing, mohinga tetap berdiri sebagai lambang kekuatan kuliner lokal Myanmar. Dari desa kecil hingga kota besar, dari pedagang kaki lima hingga restoran modern, mohinga selalu punya tempat khusus di hati rakyat Myanmar. Cita rasanya yang kaya, hangat, dan bersahabat menjadikannya salah satu hidangan Asia Tenggara yang layak mendapat perhatian lebih luas di panggung dunia kuliner.
BACA JUGA: 5 Jenis Kuliner yang Kurang Diminati di Padang: Bukan Soal Rasa, Tapi Selera

5 Jenis Kuliner yang Kurang Diminati di Padang: Bukan Soal Rasa, Tapi Selera
Padang dikenal luas sebagai surga kuliner di Indonesia. Rendang, sate Padang, gulai, dan aneka sambal pedas sudah mendunia dan dicintai banyak orang. Namun, di balik popularitas berbagai hidangan khas Minang, ada juga beberapa kuliner yang justru dinilai kurang enak atau tidak cocok di lidah sebagian orang. Perlu ditekankan, tidak enak di sini bukan berarti buruk secara kualitas, tapi lebih pada persoalan selera, tekstur, atau bahan yang tak lazim bagi sebagian orang. Berikut lima kuliner khas Padang yang sering dianggap kurang enak oleh sebagian penikmat makanan:
1. Gulai Itiak Lado Mudo (Bebek Cabai Hijau)
Gulai itiak lado mudo adalah olahan bebek khas daerah Koto Gadang yang dimasak dengan cabai hijau. Meskipun tampilannya menggoda dan aromanya kuat, tekstur bebek yang alot dan bau khasnya bisa membuat banyak orang kehilangan selera. Daging bebek yang kurang empuk karena proses memasak yang slot qris tidak tepat bisa jadi tantangan bagi yang baru pertama kali mencicipi. Bagi sebagian orang, teksturnya tidak senikmat ayam atau sapi.
2. Cancang
Cancang adalah masakan khas Minang dari daging (biasanya daging sapi bagian berlemak atau tulang muda) yang dimasak dengan bumbu gulai kental. Hidangan ini memiliki rasa gurih dan pedas, tetapi bagi beberapa orang, lemak berlebih dan tekstur kenyal yang dominan bisa terasa tidak nyaman di mulut. Selain itu, tampilannya yang berminyak membuatnya tidak terlalu menggoda bagi yang tak terbiasa.
3. Gulai Tunjang (Kikil Sapi)
Gulai tunjang sering jadi pelengkap di rumah makan Padang, tapi tidak semua orang bisa menerima tekstur kikil yang sangat kenyal, bahkan cenderung licin. Meskipun bumbunya kaya rasa, sensasi mengunyah kikil bisa dianggap menjijikkan oleh mereka yang tak terbiasa. Hidangan ini sering dianggap “tidak enak” bukan karena rasanya, tapi karena tekstur ekstrem yang memerlukan waktu adaptasi.
4. Tambusu
Tambusu adalah makanan unik yang terbuat dari usus sapi yang diisi dengan tahu dan telur, lalu dimasak dalam gulai santan kental. Walau kaya protein dan unik secara konsep, usus sebagai bahan utama sering dianggap menjijikkan atau amis jika tidak diolah dengan bersih. Bagi mereka yang tidak terbiasa makan jeroan, tambusu sering kali masuk daftar kuliner yang dihindari.
5. Pangek Ikan Bilih
Ikan bilih adalah ikan kecil khas Danau Singkarak yang biasanya dimasak dengan bumbu kuning kental ala pangek. Rasanya cenderung asin dan asam, namun karena ikan ini kecil dan berduri halus, orang luar Minang kadang merasa repot saat menyantapnya. Rasa ikannya juga cukup kuat dan bisa terasa amis, terutama bagi yang tidak suka makanan laut dengan rasa dominan.
Penutup
Setiap daerah punya kuliner khas yang menggambarkan budaya dan selera lokal. Lima makanan di atas bukan berarti benar-benar tidak enak, tetapi lebih kepada ketidaksesuaian dengan selera sebagian orang, terutama mereka yang tidak tumbuh dalam budaya Minang. Rasa, aroma, dan tekstur yang unik menjadi kekayaan tersendiri dalam dunia kuliner, meski tidak semua bisa langsung menikmatinya. Maka dari itu, keberanian mencoba adalah kunci untuk benar-benar memahami dan menghargai kuliner khas suatu daerah, termasuk Padang.
BACA JUGA: Menggoyang Lidah dengan Kuliner Khas Sumatera: Perpaduan Rasa yang Kaya Rempah